architecture-interior-design-urban-lanscape-architect-construction-campus-education-news-research
Mau tau soal arsitektur, arsitek, desain, interior, konstruksi?
Selamat Datang.......
selamat datang di dunia arsitektur dan interior...blog ini berisi tentang berbagai informasi seputar dunia arsitektur, desain, seni dan budaya. berbagai hal tentang teori desain bangunan dan lansekap juga diposting di blog ini. ulasan jejak rekam arsitek terkenal dan juga bangunan-bangunan hasil karyanya akan selalu dihadirkan di sini...so..check this out!!! selamat membaca...salam
Jumat, 07 Agustus 2009
PEZIARAHAN/ PETIRAHAN SENDANG SONO
PEZIARAHAN/ PETIRAHAN SENDANG SONO
-CITA RASA SEJARAH DAN DASAR RELIGIUS YANG DAHSYAT-
Sendang Sono adalah bangunan mata air asli bersejarah tempat dipermandikannya generasi awal Gereja Katolik Kali Bawang dan Muntilan ketika Van Lith, SJ sedang menanamkan cikal-bakalnya.
Anda bisa melihat monument itu di samping altar dekat gua di mana YBM tetap menaruh monument sejarah berbentuk relief ini sebagai prasasti. Ia menghormati akar sejarah.
Roh teologis atau wastu (jiwa) diceritakan bahwa Ibu Maria adalah jembatan perantara di peristiwa Kana (Yohanes 2:1-11) ketika diminta tolong dengan amat sangat oleh orang-orang yang membutuhkan agar air diubah menjadi anggur.
Dicitrakan dalam mata air Sendang Sono dan Peranan Maria adalah jembatan-jembatan yang membuat kita bisa melewatinya untuk sampai ke mata air dan minum air segar.
Lingkup ziarah Maria Sendang Sono ditata satu dengan alam tumbuhan, pepohonan dan masyarakat sekitar (sekali lagi pasar menyatu dengan altar) dan jalan-jalan berliku-liku serta beragam semuanya punya jembatan-jembatan menuju air suci.
Sebagai satu ekspresi, bangunan ini sekaligus mengungkap jalan-jalan kehidupan yang penuh salib (hingga haus untuk minum air segar kekuatan); dan pasang surut penghayatan kesucian di pasar dalam kekumuhannya kita punya Ibu Maria sebagai jembatan yang menemani kesusahan kita dan membawanya ke mata air sejati: air kehidupan.
Romo Magun tidak membangun katedral yang besar dan megah, melainkan dalam tradisi keraton dan candi-candi Indonesia.YBM membangun sebuah kompleks yang luas dan terbuka dengan banyak bangunan kecil yang berserakan. Bangunan yang terbesar berupa sebuah anak tangga ganda yang sangat besar yang dibangun di kedua sisi aliran sungai. Anak tangga ini bisa digunakan sebagai panggung atau kapel tempat pertemuan yang mampu menampung banyak jemaat, tetapi juga sebagai jalan setapak menuju daerah pusat peziarahan, yaitu pohon sono yang tumbuh di atas sumur darimana air mengalir.
Bangunan-bangunan kecil itu bersifat serba guna. Bangunan-bangunan pendopo ini yang terdiri dari sebuah atap besar yang ditopang pilar-pilar, tetapi tanpa dinding dan perabot, bisa digunakan sebagai tempat pemujaan bagi kelompok-kelompok kecil, tetapi juga untuk piknik, makan-makan bahkan tidur. Mereka menyerupai bangunan umum istana-istana raja Indonesia dimana yang dibangun bukanlah bangunan kerajaan besar melainkan sejumlah besar bangunan kecil di suatu pernyamanan yang luas.
Sendang Sono adalah Kesederhanaan
Pada tahun 1972 Sendang sono akan dipugar. Ide pemugaran ini dilatarbelakangi oleh situasi Sendangsono yang secara fisik tidak lagi mampu menampung jumlah peziarah yang semakin banyak. Pemugaran, yang diharapkan akan menciptakan suasana yang nyaman bagi peziarah, dipercayakan kepada Mangunwijaya, romo yang juga arsitek.
Pada waktu itu Romo Mangun membutuhkan tukang kayu untuk membuat cetakan pilar beton, cetakan ubin dan rumah-rumah panggung. Dalam proses pembangunan tukang-tukang kayu tersebut memperoleh sebuah pembelajaran antara lain karena bentuk-bentuk arsitektur Romo Mangun, sebelumnya mereka tidak pernah membayangkan membuat pilar berbentuk bulat atau bentuk-bentuk rumah yang nyeleneh.
Nilai-nilai kesederhanaan ditanamkan oleh Romo Mangun melalui gaya arsitektur Sendangsono yang sesuai dengan keadaan penduduk sekitar. Bahan bangunan yang digunakan bukanlah bahan kelas satu dengan harga yang mahal, tetapi bahan yang harganya murah tetapi dengan kualitas yang lumayan bagus. Kayu misalnya, bukanlah kayu jati, meskipun banyak orang yang mengusulkannya karena awet. Kalau awet, demikian pertimbangan Romo Mangun, perawatannya bisa terabaikan. Biasanya orang kurang memperhatikannya, tahu-tahu sudah roboh.
Romo Mangun bermaksud agar bangunan sendangsono terus diperhatikan. Ia menginginkan semua orang ikut merawatnya. Oleh karena itu, Romo Mangun selalu melibatkan orang sekitar sejak awal pembangunannya. Jika pembangunan Sendangsono dilakukan oleh tukang-tukang yang berasal dari luar daerah, sementara bentuknya berbeda dengan bentuk rumah penduduk, maka perawatannya tentu akan membingungkan. Romo Mangun meluibatkan penduduk sekitar sehingga mereka tahu cara membuatnya. Bila terjadi kerusakan, mereka dapat memperbaikinya sendiri. Selain itu, rasa memiliki dari masyarakat terhadap Sendangsono dengan sendirinya akan timbul.
Kompleks Sendangsono adalah salah satu petirahan bagi umat Nasrani Indonesia. Sebagian besar bangunan gedungnya terbuat dari konstuksi kayu berlandaskan fondasi batu alam yang juga dipakai untuk turap dan beberapa tiang.
Konstruksi kayu yang diterapkan dalam kompleks ini, adalah sebuah segitiga runcing berukuran besar yang merupakan konstruksi utama bangunan sekaligus berfungsi sebagai konstruksi atapnya. Konstruksi tersebut merupakan selubung bangunan gedung yang bersangkutan, tempat berbagai fungsi dan kegiatan diselenggarakan dengan baik dengan penyediaan ruangan-ruangan terkait atau dalam bentuk sebuah ruangan besar yang berbentuk dari selubung tadi. Teknik penerapan ini merupakan pengembangan dari teknik serupa yang diterapkan oleh arsitek Mangunwijaya ketika membangun perumahan kaum tuna wisma di Kali Code, Yogyakarta yang pada hakikatnya mempresentasikan salah satu prinsip utama dalam pembuatan karya arsitektur modern yaitu volumetric.
Di lain pihak, kompleks petirahan Sendangsono ini juga mempresentasikan salah-satu aliran yang berkembang dalam pergerakan arsitektur modern pasca-Perang Dunia II, yaitu menggarisbawahi aspek penyeliaan atau supervisi dalam desain dengan mengetengahkan teknik manual serta ketrampilan tangan atau kria (craftsmanship). Aspek dan teknik tersebut dianggap sebagai alternative untuk mengembalikan jalur perkembangan arsitektur modern yang sudah semakin mekanistik dan kapitalistik ke arah semula, yaitu mengutamakan kepentingan umum atau sosial yang berorientasi ke sumber daya alami atau yang tersedia di tempat terselenggaranya pembangunan yang bersangkutan. Aspek-aspek tersebut terlihat dalam proses pembangunannya, juga penanganan detail elemen dan komponennya.
Dalam prosesnya, pembangunan kompleks ini dilaksanakan tanpa gambar kerja. Sebagai gantinya, Mangunwijaya berada di lokasi pembangunan tiap hari guna mengamati situasi setiap saat. Berdasarkan pengamatannya itulah dibuat gambar-gambar sketsa atau kerja yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan di tahap yang bersangkutan secara manual, sketsa dibuat tanpa bantuan alat-alat gambar seperti meja, penggaris dan mesin gambar yang lazim dipakai waktu itu, baik untuk pelaksanaan yang bersifat structural, sepertu pembuatan konstruksi bangunan maupun detail-detail teknik mempertemukan berbagai bahan bangunan yang berbeda atau membuat profil ornamentasi di bahan-bahan bangunan tersebut dan juga di pertemuan-pertemuannya. Untuk mencapai hasil yang diinginkan, Mangunwijaya tidak segan-segan membuat percobaan lebih dahulu dan memberi bimbingan kepada para pekerja mengenai cara membuat konstruksi dan detail-detail tersebut. Dengan demikian aspek penyeliaan menempati posisi terpenting dalam pelaksanaan kompleks ini.
Motif dan pola detail-detail tersebut mengingatkan kita kepada seorang arsitek terkenal dari Amerika Serikat, Frank Lloyd Wright, yang juga melaksanakannya dengan jalan melakukan penyeliaan langsung di lokasi pembangunan. Karena itu hasil akhirnya juga memperlihatkan kemiripan, terutama dalam penampilan tekstur kasar dan lunak yang membangkitkan kesan mendalam di hati.
Frank Lloyd Wright juga dikenal sebagai arsitek yang sangat memperhatikan topografi dan landscape serta rona awal lingkungan setempat sebagai titik-tolak perancangannya. Itulah yang terjadi di kompleks Sendangsono. Topografi, landscape dan rona lingkungan awal boleh dikatakan tidak terganggu karena semua bangunan gedungnya di tempatkan di lokasi dan posisi tertentu dengan memanfaatkan kondisi eksisting.
Sebab itu kompleks ini seakan-akan bagian dari kondisi eksisting tersebut, bukan tambahan atau pengurangan dan bukan pula penggantiannya menjadi sebuah lingkungan-buatan yang sama sekali baru
Label:
BUILDING REVIEW
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Salam. Saya sangat tertarik dengan tulisan ini, terutama tentang bagaimana Romo Mangun dengan sangat sederhana menjadikan desain Sendangsono sebagai sebuah karya arsitektur yang menyatu dengan lingkungan. Namun kalau saya boleh tahu, apakah ada sumber tertulis di luar tempat Anda mendapatkan informasi-informasi di atas? Kalau ada, bolehkah saya tahu? Sejujurnya, saya butuh informasi tertulis itu untuk keperluan skripsi saya. Terima kasih.
BalasHapustulisan yg keren..boleh saya jadikan referensi ya..
BalasHapus