TEKTONIKA ARSITEKTUR YB. MANGUNWIJAYA
(by Sebastian)
1. Karakteristik Dalam Tataran Teknis/ Structural – Technical
Pengolahan bahan bangunan yang diterapkan YB. Mangunwijaya lebih pada proses produksi cetak (non-fabrikan), sehingga tipe-tipe dan bentuk bangunan menjadi sangat bervariatif dan inovatif. Pengolahan bahan adalah sisi tektonik yang terkuat dari karya Mangunwijaya, terutama dari bahan-bahan yang terbuang atau bekas. Perhatiannya pada bahan-bahan ini adalah pengaruh dari pengabdiannya terhadap firman Allah pada kutipan Perjanjian Baru: Matius 12: 20 “Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskan-Nya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkan-Nya, sampai Ia menjadikan hukum itu menang”.
b. Budaya menganyam, menenun, merajut, menebar dalam mengolah bahan bangunan menjadi bentuk konstruksional
Tektonika merujuk pada suatu ketrampilan menyusun atau membuat bahan bangunan yang didalamnya terdapat kegiatan seperti menjalin, merajut, menganyam seperti bambu, ragum, ijuk, gedhek, rotan. Di tangan Mangunwijaya kebudayaan ini dikembangkan dengan lebih mengeksplorasi berbagai macam bahan, seperti menganyam bata, menjalin papan menjadi konstruksi balok-kolom, merajut kayu dan seng menjadi panel pintu dan masih banyak lagi.
c. Kejujuran dalam pengolahan bahan dan penanganan konstruksi (ekspos pada dialog di sambungan)
Komponen arsitektur menjadi lebih bermakna dan mengekspresikan kejujuran ketika hubungan struktural menjadi nyata terlihat. Bagaimana kolom berperan menyalurkan beban atau balok yang menahan gaya tarik atau tekan serta kuda-kuda yang menyangka struktur atap, kesemuanya itu secara jujur terekspos sesuai perannya masing-masing.
d. Eksploratif dalam penentuan sistem konstruksi untuk penanganan berbagai kasus desain
Sistem konstruksi yang dipilih Mangunwijaya sangat beraneka ragam, yang juga dengan beragam pertimbangan. Beliau pernah mengatakan bahwa: “konstruksi harus terbuka terhadap kebebasan penataan sebanyak mungkin.” Seperti bangsal yang di Sendangsono, konstruksi ruang atap dan bentuk panggung yang terkesan ringan memang sangat potensial dan terbuka untuk kebutuhan pemakainya. Atau suatu kali beliau juga pernah berkata: “konstruksi yang benar biasanya sekaligus indah. Lihat alam raya!” Sehingga pada kapel di Sendangsono terdapat struktur yang condong pada perilaku struktur sebuah pohon dengan batang dan cabang-cabangnya yang menopang beban atap runcing limasan.
2. Karakteristik Dalam Tataran Representasional/ Structural – Symbolic
a. Citra kesederhanaan
“Semakin sederhana bentuknya semakin bertahan.”
“Sederhana dapat indah berwibawa, kemewahan dapat menjadi tanda-bukti rasa minder/ bodoh.”
“Bahan-bahan yang sederhana justru lebih mampu mencerminkan refleksi keindahan puisinya, karena lebih bersih dari godaan maupun kepongahan.”
Kutipan di atas merupakan filosofi Mangunwijaya dalam merancang. Citra kesederhanaan ini merupakan pengaruh/ representasi dari pengolahan bahan bangunan yang berasal dari sumber alami bahkan terbuang atau sisa yang diolah menjadi bahan yang lebih berharga dan bernilai seni.
b. Memunculkan berbagai bentuk artikulasi hubungan struktural
Artikulasi merupakan bahasa gerak dari elemen-elemen tektonis yang bermakna tertentu dalam berbagai kemungkinan perlakuan atau pengolahan konstruksi. Dalam seni konstruksi atau tektonika arsitektur ada sekiranya 4 hal, yaitu: artikulasi proses pembuatan, bakat bahan, ekspresi beban sambungan dan artikulasi elemen. Lewat permainan pengolahan bahan ada banyak artikulasi hubungan struktural yang telah dihasilkan Mangunwijaya, antara lain artikulasi proses pembuatan kolom, proses cair-padat dirasakan adanya guratan, tonjolan atau alur-alur cetakan yang mencitrakan sesuatu. Atau contoh pada artikulasi beban sambungan yang seakan meregang tarik atau terdesak terdorong dan lain sebagainya.
c. Citra keselarasan : akrab dengan lingkungan sekitar
“Kita memang ingin berdoa di atas kebenaran, dihirup oleh kehampaan ruang terbuka yang hanya bisa menengadah ke langit, dibatasi pohon-pohon di sekitarnya.”
Alam sekitar bagi Mangunwijaya adalah kesatuan dengan hasil kreasi atau kebudayaan manusia. Sehingga dipilihlah bahan-bahan alami dari sumber daya alam sekitar guna membangun sebuah karya arsitektur. Komunikasi antara bangunan dan lingkungan sangat terlihat jelas keselarasannya dan keakrabannya dengan melebur menjadi satu, pagar rendah, rimbun dengan pepohonan, dan sangat terbuka.
d. Concern pada simbolisme level mikro/ detail (relief)
“Arsitektur tidak hanya mengolah masalah-masalah teknis belaka, tetapi berkecimpung dalam dunia makna-makna yang terdalam.”
Makna-makna yang bersifat religius atau spiritualitas bukan hanya muncul pada wujud bangunan namun lebih sering muncul sebagai elemen-elemen mikro, detail dan “clekunik-clekunik” yang membuat pengamat mudah menangkap makna yang disimbolkan. Biasanya simbol-simbol harfiah atau lugas tentang alam semesta ciptaan Tuhan dan kutipan simbol dalam Kitab Suci. Sebut saja merpati, bunga mawar, batang pohon dan ranting-rantingnya, ikan, dedaunan, api, air dan lain sebagainya.
e. Menghormati sejarah/ tradisi dan nilai-nilai religiusitas gereja
“Arsitektur yang baik, berbobot, sejati, juga selalu menyatakan dimensi kefanaan dan kebakaan, imanensi dan transedensi, kodrati dan adikodrati.”
Cita rasa peka sejarah merupakan representasi karya arsitektur dan visi arsitektur Mangunwijaya. Dengan membuat monumen atas mata air di Sendangsono tempat dibaptisnya 171 orang pertama di tanah Jawa merupakan ungkapan untuk jangan pernah meninggalkan sejarah. Begitu pula dengan perancangan kapel yang menyatakan dimensi imanensi dan trasedensi.
Terimakasih atas tulisannya.. membantu saya memahami konsep Romo Mangun dalam teori tektonik dan materialis
BalasHapus