Mau tau soal arsitektur, arsitek, desain, interior, konstruksi?

Selamat Datang.......

selamat datang di dunia arsitektur dan interior...blog ini berisi tentang berbagai informasi seputar dunia arsitektur, desain, seni dan budaya. berbagai hal tentang teori desain bangunan dan lansekap juga diposting di blog ini. ulasan jejak rekam arsitek terkenal dan juga bangunan-bangunan hasil karyanya akan selalu dihadirkan di sini...so..check this out!!! selamat membaca...salam 

Sabtu, 31 Oktober 2009

Jumat, 30 Oktober 2009

SNAPSHOT INTERIOR PART 1






Pengaruh Arsitektur Lokal Bangunan Gereja di Bali


Pengaruh Arsitektur Lokal Bangunan Gereja di Bali

Arsitektur sangat dipengaruhi oleh letak geografis, geologis, topografi, iklim, hingga sikap dan perilaku yang terangkum dalam kebudayaan. Bagaimanakah agama memperlakukan bangunan atau sealiknya? Ternyata arsitektur mampu menembus bukan hanya batas ruang dan waktu belaka, juga sanggup menjadi duta dan perekat ideologi dan kepercayaan. Dengan demikian, para arsitek sebagai duta budaya dengan segenap ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya hendaknya mampu menunjukkan independensinya.

AWALNYA tidak dikenal aturan ataupun ketentuan tentang seperti apa harusnya bangunan ibadah bagi umat kristiani. Pemilihan gedung Basilica dapat menampung banyak orang, memiliki tata akustik yang sangat baik (tidak menggema), serta ruang dalam bangunannya memiliki skala atau efek psikologis menekan ego manusia sehingga Tuhan menjadi sakral, suci, agung, magis, dan pasti religius. Bagi yang berkiblat ke Vatikan maka konsili Vatikan merupakan atau memberikan peluang seluas-luasnya bagi lokal jenius untuk tumbuh dan berkembang, misalnya dalam hal arsitektur.

Sedangkan bagi yang lainnya melalui peraturan daerah No. 2, 3, dan 4 tahun 1974 menampilkan citra Bali-nya. Ataupun juga dengan sengaja mengangkat tema arsitektur Vernacular, Neo Vernacular, Regional Arsitektur, dan lainnya dengan sangat kreatif namun terkadang terkesan eklektif dan kurang normatif.

Arsitektur adalah upaya pencairan yang tidak pernah berakhir, dia berkelanjutan berputar sehingga kenangan masa lalu (nostalgia) dapat tampil kembali secara utuh maupun dengan beberapa perubahan. Di arsitektur barat, kerinduan masa lalu dikenal sebagai arsitektur klasik yaitu masa arsitektur Yunani dan Romawi. Di Bali, dimana perjalanan arsitekturnya tidak sepanjang di negeri barat, maka arsitektur klasiknya dapat disebutkan sebagai arsitektur tradisional Bali dataran dengan pola sanga mandala dengan natah sebagai pusatnya. Kerinduan masyarakatnya terhadap keindahan, keagungan, dan kebesaran masa lalu dalam menjaga keseimbangan hubungan manusia dengan alam, manusia, dan Tuhan-nya yang dikenal sebagai Tri Hita Karana menyebabkan filosofi tersebut menjadi super-struktur dalam segala kiprah kehidupan dan penghidupannya, termasuk arsitektur.

Asimilasi, akulturasi, ataupun adaptasi adalah suatu dinamika yang berlangsung secara evolusi maupun revolusi dalam hubungan sosial kemasyarakatan untuk dapat hidup berdampingan secara penuh cinta-kasih dalam kebersamaan, kesetaraan, dan lainnya yang akhirnya bermuara pada pencampuran, penyatuan, saling-silang pengaru, maupun melahirkan keunikan dalam hal kebudayan termasuk arsitektur.

Gereja di Bali

Adanya bangunan ibadah bagi umat Kristiani di Bali tentunya karena komunitas yang ada membutuhkan wadah tersebut. Misionaris yang tercatat ke Bali pada 11 September 1935 adalah PJ Kersten, SVD yang selanjutnya disusul oleh rekan-rekannya. Pemberkatan gereja katolik pertama berlangsung di Banjar Tuka, Desa Dalung-Badung pada 14 Februari 1937. Dalung di Badung dan Gumbrih di Jembrana merupakan pusat umat Kristiani ketika itu. Dengan adanya bangunan gereja saat itu, berarti menambah perbendaharaan masyarakat Bali terhadap bangunan tersebut dalam katalog arsitekturnya.

Beberapa bangunan yang telah terbangun sampai dengan saat ini masih berada pada bentuk dasar linier yang dipakai pada Basilica, bentuk dasar salib Yunani dan Romawi (lihat gambar). Ketiga bentuk dasar yang ditransformasikan ke dalam denah bangunan gereja di Bali didisain dengan kreatif melalui perpaduan tuntutan fungsi, kearifan lokal, peraturan/persyaratan yang ada menjadi beraneka wujud yang sekaligus menjadi identitas komunitasnya. Teori arsitektur menyebutkan bahwa untuk bangunan dengan fungsi religius harus memenuhi kaidah-kaidah antara lain: di luar skala manusia ditampilkan melalui ketinggian bangunan (batasan sesuai perda adalah 15 meter), sosok bangunannya meruncing ke atas dengan bentuk-bentuk segitiga, kemegahan (melalui dimensi dan bahan), kewibawaan (melalui bentuk simetris, seimbang, dan pengulangan), dan lainnya yang dirancang sejak dalam pengolahan site, tampak bangunan, ruang dalam maupun ruang luar, struktur, bahan, serta ornamennya.

Dua buah gereja yang menurut penulis sangat kental dengan nuansa arsitektur lokal (Bali) adalah Gereja Katolik Hati Kudus Jesus di Desa Palasari, Jembrana, yang bergaya paduan arsitektur Bali (timur) dengan Gothjik (barat) yang dibangun pada 1954 dan selesai pada 13 Desember 1958. Pada 1992 hingga 1994, gereja ini direnovasi dengan melibatkan arsitek lokal Ida Bagus Tugur. Bentuk dasar denahnya adalah salib Romawi, dengan atap bertingkat -- pada titik pertemuan silangnya menyerupai meru dan yang di tengah-tengah dipasang atap bertingkat tiga yang meruncing ke atas, menggunakan ornamen dengan tata rias Bali, serta dilengkapi dengan tujuh buah menara. Jumlah menara ini memiliki makna sekaligus merupakan analogi simbol dari tujuh Karunia Roh Kudus atau Sakramen yaitu permandian, Krisna, tobat, ekaristi, minyak suci, perkawinan, dan imamat. Di bagian ruang luar dijumpai adanya pagar dan candi bentar Bali, demikian juga pada ruang dalamnya mengunakan unsur-unsur dekorasi yang bernafaskan Bali. Kemudian Gereja Katolik Paroki St. Yoseph di Jalan Kepundung Denpasar. Arsitektur Gereja St. Yoseph atas dasar pendekatan hermeneutic merupakan hasil perkawinan, penyatuan, dari arsitektur barat yang bernuansa Romanika Itali Utara (dengan menambahkan bangunan/emperan di depan pintu utama bangunan), Gothik Belanda/Belgia (lihat jendela depan, letak pintu atau orientasi ke arah barat, serta menaranya). Sedangkan dari unsur lokalnya tampak terlihat dari bahan dekorasi fasade dari bata dan paras Bali, menggunakan bentuk bangunan meru, bale kulkul dan kori yang dijadikan satu kesatuan. Unggulan dari ciri barat (Gothik) dan timur (tradisi) dijadikan satu sehingga menampilkan sosok arsitektur yang unik.

Tampaknya, arsitektur gereja Katolik di Bali seperti contoh diatas adalah yang dipayungi oleh Konsili Vatikan dapat dengan bebas bermain pada khasanah kedaerahan. Itulah sebabnya arsitektur Bali khususnya pada bentuk dan bahan mendapat porsi yang utama pada Gereja Hati Kudus Jesus di Palasari, Jembrana, dan St. Joseph di Jalan Kepundung Denpasar. Kemampuannya untuk berasimilasi sangat tinggi untuk kemudian beradaptasi dan akhirnya diterima menjadi bagian dan milik masyarakat.

Beberapa upaya yang dilakukan oleh para arsitek untuk bangunan gereja di Bali agar bernuansa lokal karena dikehendaki oleh Perda No. 2, 3, dan 4, tahun 1974 antara lain tampak pada karya gereja di Jalan Debes Denpasar dan Gereja Bukit Doa di Nusa Dua. Gereja di Jalan Debes tampaknya juga mengambil analogi bangunan tradisi meru, sedangkan yang di Nusa Dua, disamping mengambil bentuk meru dengan denah berbentuk salib Yunani, puncak meru-nya seolah-olah kubah lancip yang mencerminkan keagungan, juga ditambahkan menara dengan mengadopsi bentuk bale kulkul sebagai tengeran lengkap dengan loncengnya.

Dari kajian singkat tentang empat objek gereja yang dianggap atau diasumsikan mewakili gereja di Bali dapat disimpulkan bahwa kelompok bangunan gereja yang menganut Konsili Vatikan seperti Gereja Hati Kudus Jesus dan St. Joseph berupaya semaksimal mungkin mengedepankan arsitektur lokal. Artinya, arsitektur klasik (tradisi) diberikan tempat utama dan terhormat sehingga terkesan merupakan penjabaran tema vernacular maupun regional. Sedangkan bagi dua contoh lainnya yaitu gereja di Jalan Debes Denpasar dan Gereja Bukit Doa di Nusa Dua, Badung, juga mencoba memasukkan unsur lokal (tradisi) dalam kekiniannya sebagai upaya menterjemahkan masa lalu atau lokal dalam kekiniannya (modern) atau baru yang dikenal dengan sebutan arsitektur Neo Vernacular.

Dekorasi ruang dalam hampir sebagian besar diantara gereja tersebut menggunakan citra arsitektur lokal dalam hal bentuk, bahan, ornamen, dan lainnya apakah dalam wujud candi bentar, panil, dudukan patung, hingga pintu.


TIPOLOGI GEREJA KLASIK part I









PERKEMBANGAN DAN PENGELOLAAN FUNGSI KOTA


PERKEMBANGAN DAN PENGELOLAAN FUNGSI KOTA

 

Pertumbuhan dan perkembangan kota-kota sangat cepat seiring dengan pesatnya pembangunan yang dilaksanakan. Dewasa ini jumlah penduduk perkotaan di Indonesia semakin meningkat, sudah sekitar 35% penduduk Indonesia tinggal di wilayah perkotaan. Diperkirakan jumlah ini akan meningkat pada akhir PJP II yaitu sekitar 60% dari jumlah penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan. Sementara itu distribusi penduduk perkotaan akan semakin meningkat di setiap propinsi, hal ini menunjukkan terjadinya- peningkatan pendapatan yang lebih tinggi yang disertai dengan tingginya diversifikasi kegiatan ekonomi. Pada akhir PJP II diperkirakan akan terdapat 23 kota yang berpenduduk lebih dari 1 juta jiwa, 11 kota diantaranya berada di luar jawa. Kontribusi yang diberikan oleh kawasan-kawasan perkotaan terhadap pertumbuhan ekonomi dan sosial sangat berarti, diperkirakan lebih dari 60% dari PDB nonmigas akan berasal dari kawasan-kawasan perkotaan tersebut.

 

Perkembangan kota dan perkotaan yang pesat menuntut pengelolaan fungsi kota yang lebih baik karena semakin berkembang suatu kota dan perkotaan maka unsur-unsur pembentuknya pun akan semakin kompleks pula. Pada dasarnya pengelolaan kota dititikberatkan pada tinjauan terhadap penataan ruang yang ada mulai dari penyiapan rencana induk kota sampai dengan penyiapan rencana unsur kota, pengaturan pemanfaatannya, pengelolaan pengendaliannya, dan kaitannya dengan aspek-aspek lain terutama dengan aspek-aspek:

 

pembangunan ekonomi kota;

finansial kota;

kelembagaan kota;

partisipasi swasta; dan

partisipasi masyarakat

Berkaitan dengan pengelolaan kota dan perkotaan tersebut, langkah-langkah yang ditempuh dalam kebijaksanaan pengembangan kota adalah sebagai berikut:

Desentraliasasi pengembangan kota, dalam hal ini jelas bahwa peran daerah harus ditingkalkan dalam pengembangan kota, dengan demikian perlu diberikan kesempatan kepada daerah (Dati II) untuk mengembangkan kota-kota itu sesuai dengan potensi/sumber daya yang ada, hal ini tentunya sejalan dengan kebijaksanaan otonomi daerah yang dicanangkan pemerintah.

Peningkatan partisipasi swasta dan masyarakat, sesuai dengan amanat yang termaktub dalam UU No 24 Tahun 1992 Bab III yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak dan kewajiban sehubungan dengan penataan ruang tersebut. Dalam pasal 4 ayat 2 UU No.24 Tahun 1992 dijeIaskan bahwa setiap orang berhak untuk berperan serta dalam penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dengan demikian perlu diciptakan pola kemitraan antara pemerintah dan swasta maupun masyarakat dalam kegiatan penataan ruang ini.

Meningkatkan akses kepada fasilitas fisik, sosial, ekonomi, dan budaya serta pelayanan, juga menetapkan peraturan dan sistem hukum yang mendukung pembangunan dan pengelolaan kota.

Meningkatkan peranan kota-kota dalam meningkalkan pembangunan nasional dan wilayah. Dalam kaitan ini perlu ditingkalkan kerjasama antar pemerintahan kota dan antara kota dan daerah sekitarnya dalam kawasan andalan.

Sementara itu bagi penataan ruang kawasan tumbuh cepat seperti metropolitan atau kota besar maka diperlukan adanya beberapa strategi pembangunan yaitu:

Adanya rencana strategik yang dikombinasikan dengan rencana anggaran (budget planning). Rencana strategik ini lebih menitikberatkan pada program-program konkret didalamnya termasuk koordinasi lintas sektoral dalam pelaksanaan dan pembiayaan perkotaan. Dalam hal ini unsur manajemen dalam pembangunan perkotaan lebih diulamakan. Dalam hal ini baik partisipasi swasta maupun masyarakat sudah teridentifikasi secara jelas. Karena rencana itu tidak hanya mencakup kegiatan-kegiatan pemerintah kota saja tetapi mempertimbangkan kegiatan-kegiatan aktor lain yang terlibat dalam pembangunan kota. Rencana strategik harus mempunyai tujuan yang jelas dan sudah disepakati bersama baik antar instansi terkait, masyarakat maupun pihak swasta. Rencana yang dibuat harus realistis, transparan dan dapat diukur tingkat pencapaiannya untuk mempermudah evaluasi terhadap efektivitas dan efisiensi dari rencana tersebut. Dengan demikian terlihat perbedaan antara rencana strategik dengan rencana tradisional (comprehensive planning) atau master plan. Rencana yang diperlukan untuk penataan ruang kawasan tumbuh cepat adalah rencana yang mempunyai daya antisipasi tinggi terhadap perkembangan, serta operasional.

Perlu diiakukan usaha peningkatan pendapatan daerah melalui pemungulan pajak lokal yang ditargelkan untuk dapat mengganti biaya modal dalam pengoperasiannya. Usaha yang dilakukan antara lain melalui penerapan tarif yang didasarkan pada prinsip biaya penuh bagi pelayanan air minum, pembuangan air limbah, dan sampah.

Perlu peningkatan desentraliasasi dalam penentuan dan pemungutan pajak bumi dan bangunan termasuk peningkatan administrasi pengelolaannya.

Peningkatan partisipasi sektor swasta dalam pembangunan kota, peran pemerintah dalam hal ini sebagai facilitator dan enabler dalam pengadaan fasilitas kota.

Pengintegrasian strategi transportasi perkotaan untuk mengurangi biaya yang disebabkan oleh kemacetan akibat buruknya penanganan transportasi.

Peningkatan peraturan yang berkaitan dengan kontrof polusi air, udara,dan tanah serta pengurangan kemacetan lalu lintas. Antara lain melalui inspeksi kendaraan, pemasangan alat kontrol emisi kendaraan, peningkatan pajak bahan bakar untuk mengurangi polusi udara.

Perlu peningkatan fungsi dan peran kota-kota kecil yang berada di kawasan metropolitan, yang diharapkan berfungsi sebagai kota penyangga (buffer cities) yang mandiri baik dalam penyediaan lapangan kerja maupun dalam penyediaan fasilitas perkotaan bagi penduduk di wilayahnya.

Dari uraian tersebut maka dapat dilihat bahwa pembangunan daerah dirasakan sangat penting untuk mendukung perkembangan dan pengelolaan kota. Berkaitan dengan dengan hal tersebut, pengembangan wilayah dilakukan harus selaras dengan pembangunan daerah, mengingat pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang terpadu dengan pembangunan nasional yang terpadu dengan pembangunan nasional yang terpadu dengan pembangunan sektoral dalam rangka mengupayakan pemerataan pembangunan antar daerah. Arah kebijaksanaan pembangunan daerah dalam PJP II adalah sebagai berikut :

Memacu pemerataan pembangunan di seluruh wilayah tanah air, daerah, dan kawasan yang kurang berkembang (seperti kawasan timur Indonesia, daerah terpencil, dan daerah perbatasan) dan hasil-hasiInya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Meningkatkan prakarsa dan peran serta aktif masyarakat.

Meningkatkan pendayagunaan potensi daerah secara optimal dan terpadu dalam mengisi otonomi daerah, hal ini sesuai dengan sasaran pembangunan daerah dalam PJP II sebagaimana diamanatkan dalam GBHN 1993 adaIah mantapnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab, serta makin meratanya pembangunan dan hasil-hasiInya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sasaran pembangunan daerah dalam Repeiita VI adalah berkembangnya otonomi daerah yang nyata, serasi, dan bertanggung jawab dengan titik berat pada daerah tingkat II.




SISTEM KOTA-KOTA DAN PENATAAN RUANG


SISTEM KOTA-KOTA DAN PENATAAN RUANG

 Definisi fungsional mengenai kota atau daerah perkotaan adalah "Pusat permukiman dan kegiatan penduduk yang mempunyai status pemerintahan sendiri dan karenanya telah mempunyai batas wilayah administratif, maupun yang belum mempunyai status pemerintahan tetapi memperlihatkan watak dan ciri kehidupan perkotaan serta belum memiliki batas administratif". Suatu daerah disebut sebagai kota atau perkotaan karena pertimbangan aspek-aspek sebagai berikut: 

tingkat kepadatan penduduk relatif tinggi 

kegiatan utama masyarakatnya di sektor non pertanian

status sosial masyarakat penghuninya heterogen, baik dari segi adat, budaya, dan agama

Dilihat dari jumlah penduduknya, kota-kota atau daerah perkotaan tersebut ada yang termasuk golongan kota metropolitan, kota besar, kota sedang dan kota kecil:

Megapolitan, adalah kota dengan jumlah penduduk di atas 5 juta jiwa.

Kota raya/metropolitan adalah kota dengan jumlah penduduk antara 1 sampal 5 juta jiwa

Kota besar adalah kota dengan jumlah penduduk antara 500.000 sampai 1 juta jiwa.

Kota sedang adalah kota dengan jumlah penduduk antara 100.000 sampai 500.000 jiwa.

Kota kecil adalah kota dengan jumlah penduduk antara 20.000 sampai 1.00.000 jiwa.

Kota atau daerah perkotaan, direncanakan atau tidak, membentuk suatu sistem karena saling keterkaitannya, baik secara fisik maupun secara sosial ekonomi. Dalam Repelita VI kota atau daerah perkotaan dibagi atas 4 (empat) kelompok berdasarkan fungsi dan pelayanannya dalam menunjang pertumbuhan ekonomi nasional, yaitu:

Kota atau daerah perkotaan yang berfungsi sebagai pusat kegiatan nasionat (PKN). Yang dimaksud adalah kota atau daerah perkotaan yang mempunyai wilayah pelayanan skala nasional, disamping merupakan pintu gerbang bagi kefuar masuknya arus barang dan jasa, juga merupakan simpul perdagangan interrnasional. Kota atau perkotaan yang termasuk klasifikasi ini merupakan pusat pelayanan jasa, produksi, dan distribusi serta merupakan simpul transportasi untuk pencapaian beberapa pusat kawasan atau propinsi. Biasanya yang termasuk golongan kota/perkotaan ini adalah kota-kota besar/metropolitan, disebabkan karena kelengkapan sarana dan prasarana yang dimilikinya.

Kota atau daerah perkotaan yang berfungsi sebagai pusat kegiatan wilayah (PKW). Daerah perkotaan atau kota yang mempunyai wilayah pelayanan yang mencakup beberapa kawasan atau kabupaten. Golongan ini biasanya merupakan kota besar dan kota sedang.

Kota atau daerah perkotaan yang berfungai sebagai pusat kegiatan lokal (PKL). Kota atau perkotaan yang termasuk klasifikasi ini adalah yang mempunyai wilayah pelayanan beberapa kawasan dalam lingkup kabupaten dan umunya merupakan kota sedang.

Kota atau daerah perkotaan yang mempunyai fungsi khusus dalam menunjang sektor ekonomi tertentu. Kota atau perkotaan yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah yang mempunyai fungsi pelayanan khusus dalam menunjang sektor strategis, menunjang pengembangan wilayah baru atau penyebaran kegiatan ekonomi dan berfungsi pula sebagai daerah penyangga aglomerasi pertumbuhan pusat kegiatan yang sudah ada.

Pengelompokkan kota-kota ini ditujukan untuk dapat merumuskan kebijaksanaan yang lebih terarah dan sesuai dengan setiap kelompok tersebut.

Dari uraian sebelumnya, terlihat bahwa sistem kota-kota atau daerah perkotaan tidak terlepas dari setiap aspek kegiatan penataan ruang karena keduanya merupakan faktor yang saling terkait, yang mempengaruhi satu sama lain.


P E N A T A A N R U A N G P E R K O T A A N


P E N A T A A N   R U A N G   P E R K O T A A N

Ringkasan 

Kota-kota besar di Indonesia "tidak sehat". Struktur pertumbuhannya cendrung meniadakan ruang terbuka, sedangkan pemukiman terus terdesentralisasi, bergerak menjauh dari pusat kota, menyebar dan menggeser wilayah pertanian di wilayah pinggiran. Proses ini tidak saja kian membebani pengelolaan kota namun juga mengorbankan fungsi ekologis lingkungan dan tanah pertanian di wilayah pinggiran dengan segala dampaknya. Permukimam kumuh, kemacetan, degradasi lingkungan, polarisasi kemampuan masyarakat, serta social unrest adalah sejumlah indikator permasalahan yang secara kumulatif tidak efektif bagi pertumbuhan ekonomi dan kehidupan sosial masyarakat kota dan wilayah pingirannya serta membebani roda pertumbuhan nasional. Transformasi struktur perkonomian Indonesia yang prematur menjadi akar seluruh permasalahan ini sehingga laju urbanisasi menjadi terlampau tinggi di atas kemampuan kota untuk berbenah. Dengan demikian, pengelolaan kota, termasuk penataan ruangnya, tidak dapat lagi dipandang sebagai beban internal kota.

 

Pendahuluan

 

Di masa mendatang, fungsi kota sebagai pusat pertumbuhan, titik kontak hubungan dan perdagangan internasional, nodal informasi dan inovasi teknologi menjadi semakin stategis. Selain itu, tetap saja kota akan menjadi ruang yang paling ideal bagi pertumbuhan dan diversifikasi kegiatan ekonomi berbasis sektor industri, jasa dan perdagangan. Wajarlah, dalam menghadapi tantangan global kelak, peran stategis ini harus ditingkatkan.

 

Hal tersebut masih mungkin bagi Indonesia. Lihat saja komposisi urbanisasi, perbandingan penduduk perkotaan dengan pedesaan masih tergolong rendah, hanya 30 %. Padahal rata-rata penduduk perkotaan di negara-negara yang berpendapatan menengah adalah sekitar 48%, bahkan di negara-negara maju mencapai di atas 70%. Jakarta, meskipun dihuni kurang lebih 9.7 juta jiwa namun hanya menampung + 20 persen penduduk perkotaan, sementara Manila 30 persen, Bangkok 69 persen dan Soul 43 persen . Jadi, dari sisi komposisi penduduk, perkotaan Indonesia masih tergolong aman.

 

Masalahnya justru terletak pada kecepatan laju urbanisasi yang terlampau tinggi yakni 5,4 % per tahun dalam dekade 1980 . Tidak saja tinggi, namun urbanisasi di Indonesia merupakan hasil proses transformasi struktur ekonomi yang prematur, yang terjadi karena dualislistik pembangunan di Indonesia dalam era Orde Baru. Dualistik pembangunan ini telah menempatkan sektor pertanian sebagai lapangan usaha kelas bawah, gurem, tidak efisien dan tidak "prestigous", sehingga menyebabkan pelepasan tenaga kerja pertanian ke sektor moderen, industri dan jasa, di perkotaan menjadi terlampau cepat. Sehingga meskipun lapangan kerja di sektor moderen ini sangat kompetitif, tetap saja urbanisasi meningkat tajam. Apabila asumsi ini benar, maka transisi komposisi penduduk perkotaan akan meningkat sangat tajam menjadi 42 % pada tahun 2010 dan mencapai 60 % pada tahun 2018 .

 

Pertumbuhan Kota

 

Pertumbuhan penduduk yang terlalu pesat dan tersentralisasi di pusat-pusat kota secara simultan telah memberikan beban masalah pengelolaan kota yang muskil dan bahkan "counter produktive" terhadap manfaat "agglomerasi" dan "economic of scale". Karena tekanan masalah yang demikian berat maka kebijaksanaan pengelolaan perkotaan seringkali tidak mampu efisien dan cenderung mengikuti mekanisme pasar yang lebih mengejar maksimalisasi ekonomi dalam pemanfaatan tanah-tanah kota. Proses ini dapat saja menyebarkan kepadatan penduduk dalam kota dan mendistribusikannya ke wilayah pinggiran, namun sekaligus menciptakan pemekaran fisik kota yang tidak tertata yang justru pada gilirannya menambah beban permasalahan pengelolaan kota itu sendiri.

 

Pembangunan fisik kota berpola "urban sprawl" telah jauh merambat ke wilayah-wilayah pinggiran bahkan di sebagian besar wilayah perbatasan pembangunan fisik ini telah menyatu dan sulit dibedakan. Permasalahan ini mempersulit penyediakan dan pemelihara fasilitas perkotaan. Tidak saja itu, permukimam pinggiran ini hanya terikat secara administratif dengan wilayah sekitar namun secara fungsional dan spatial telah terintegrasi dengan kota sehingga sedikit sekali mempunyai keterkaitan dengan ekonomi dan sosial pedesaan. Sementara itu, meningkatnya permintaan terhadap tanah di wilayah pinggiran kota ikut mendorong kompetisi penggunaan dan kelangkaan tanah di wilayah tersebut. Kompetisi dan kelangkaan ini secara langsung mengangkat harga tanah sekaligus menempatkan wilayah pinggiran kota sebagai ladang subur usaha spekulan tanah. Tentu saja hal ini akan mendorong percepatan mutasi penggunaan tanah dari pertanian ke non pertanian yang kian hari kian bertambah.

 

Berkurangnya tanah pertanian karena terdesak oleh perkembangan fisik kota berdampak percepatan fragmentasi pemilikan tanah sehingga luas garapan menjadi semakin kecil dan tidak lagi efisien untuk usaha pertanian. Hal ini menjadi pemicu lebih lanjut pengalihan penguasaan dan penggunaan tanah dari pertanian ke non pertanian yang akhirnya menyebabkan tanah-tanah pertanian dipinggiran kota menjadi semakin rentan terhadap mutasi penggunaan tanah. Pengalihan fungsi penggunaan tanah pertanian ke kegiatan non pertanian di wilayah pinggiran Kota memberikan dampak ekologis yang serius seperti berkurangnya penyediaan air bagi masyarakat kota atau justru kebanjiran di musim hujan.

 

Selain itu, pola pembangunan fisik kota yang horizontal yang terutama didominasi oleh pembangunan perumahan-perumahan di pinggiran kota secara langsung meningkatkan jumlah masyarakat "Commutter". Kemacetan di jalan raya terutama di waktu pagi dan sore hari terus menjadi-jadi, kian hari kian buruk.

 

Dalam menghadapi kompleksitas beban permasalahan kota tersebut, pengelolaan perkotaan seyogyanya perlu diselenggarakan secara lebih arif dan efektif. Visi utama pembangunan perkotaan perlu diperioritaskan untuk menciptakan iklim perkotaan yang lebih manusiawi, berwawasan lingkungan dan tidak semata-mata mengejar pertumbuhan ekonomi dan fisik. Kegiatan pembangunan fisik yang selama ini cendrung untuk mengurangi ruang terbuka dan kehijauan kota seyogyanya di evaluasi kembali. Demikian juga, pemerintah kota perlu tetap memberikan perlindungan bagi masyarakat yang kurang mampu. Tingginya polaritas kemampuan untuk memperoleh akses pelayanan dan menikmati hasil-hasil pembangunan yang tersebar dalam berbagai segmen mayarakat terbukti dengan indikasi-indikasi meningkatnya kriminalitas, ketidakperdulian dan gangguan-gangguan sosial lainnya. "Social distress" semacam itu menyebabkan kenyamanan dan keamanan untuk tinggal dan berusaha di dalam kota akan cepat menurun dan semakin menjauh dari maksud dan tujuan pembangunan itu sendiri.

 

Dinamika perkembangan kota dan urbanisasi tidak dapat lagi dipandang sebagai masalah internal kota semata-mata melainkan sudah memiliki dimensi yang lebih luas dan dipengaruhi oleh kondisi-kondisi sosial, ekonomi, informasi dan politik secara nasional dan global. Dalam kontek inilah perlu diciptakan keseimbangan pembangunan antar wilayah, pembangunan lingkungan hidup yang layak, serta memperkecil dampak negatif yang ditimbulkan oleh wilayah dengan tingkat pertumbuhan tinggi terhadap wilayah-wilayah yang lambat pertumbuhannya. Dengan demikian kegiatan – kegiatan perencanaan penataan ruang kota dengan penataan ruang wilayah di sekitarnya tidak pantas lagi dilakukan secara terpisah, seperti yang selama ini dilakukan

 

Disamping itu, kebijaksanaan pembangunan perkotaan perlu juga diarahkan kepada pembangunan kota-kota baru yang mandiri. Langkah-langkah HHHini sangat penting untuk tujuan desentralisasi dan dekonsentrasi pembangunan kota dan sebagai alat untuk menarik migran potensial yang cendrung ke kota-kota metropolitan. Dengan demikian kota-kota ini dapat berperan dalam membenahi ketimpangan antar daerah serta mempercepat laju pertumbuhan ekonomi nasional, oleh karenanya mempunyai arti yang sangat strategis.

 

Dalam sisi lain, visi pembangunan perkotaan tersebut harus lebih melibatkan peran aktif pihak swasta dan masyarakat karena pada kenyataannya merekalah yang menjadi motor penggerak pembangunan kota. Untuk itu diperlukan peningkatan kemampuan dalam perencanaan dan transparansi dalam pembangunan dan pengelolaan perkotaan agar peran aktif swasta dan masyarakat dapat ditumbuh-kembangkan.

 

Pengendalian Ruang Kota

 

Kegiatan penataan dan pemanfaatan ruang kota pada dasarnya adalah kegiatan penataan dan pemanfaatan tanah - tanah perkotaan yang dikuasi oleh masyarakat dan badan hukum. Dengan demikian, diperlukan serangkaian tindakan-tindakan yang melibatkan kegiatan-kegiatan pengaturan penguasaan dan penggunaan tanah dalam mengendalikan atau mengintervensi mekanisme pasar dalam pemanfaatan tanah yang terikat akan hukum "the highest and best use of land". Secara operasional, upaya-upaya pemanfaatan dan pengendalian ruang untuk mewujudkan kondisi ideal dari suatu perencanaan tersebut ditempuh melalui mekanisme pengadaan tanah dan pengendalian penggunaan tanah melalui kebijaksanaan perijinan hingga pemberian hak atas tanah.

 

Wajar, sebagai syarat untuk menjamin berfungsinya rencana tata ruang perkotaan, maka diperlukan sarana pengendalian yang salah satunya adalah mekanisme perijinan dan hak atas tanah. Tentu saja dalam pelaksanaan pemberian ijin hingga penerbitan hak harus menghormati hak atas tanah yang dimiliki oleh masyarakat. Dengan demikian akan tercapai suatu proses yang saling berkesinambungan dalam penataan dan pemanfaatn ruang dimana pemberian perijianan adalah esensi dari upaya pemanfaatan dan pengendalian ruang.

 

Penataan ruang perkotaan dapat juga dilaksanakan dengan program antara lain konsolidasi tanah. Konsolidasi tanah secara konsepsional merupakan langkah yang sangat strategis dalam pengelolaan pembangunan perkotaan, yang antara lain adalah: 1) mempercepat penyediaan dan pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum lainnya, 2). Meningkatkan intensitas penggunaan tanah serta memperbaiki kondisi lingkungan, 3). Menghemat pengeluaran anggaran pemerintah untuk mengadakan tanah dan pembangunan infratruktur dan fasilitas umum, 4). Meningkatkan nilai tanah, 5). Menghindarkan penggusuran masyarakat pemilik tanah dari lokasi asalnya, 6). Mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan perkotaan sekaligus menurunkan ketimpangan sosial yang bersumber dari kondisi permukimam, 7). Memungkinkan terbentuknya sistem perpajakan yang lebih baik dan adil.

 

Selain program konsolidasi tanah, pemerintah kota sudah saatnya melibatkan partisipasi yang lebih aktif pihak swasta dalam mengembangkan program pembangunan rumah vertikal terutama dengan sistim sewa. Pembangunan perumahan susun vertikal untuk kelompok masyarakat berpendapatan rendah melalui sistim sewa memang terkesan mahal. Namun program rumah susun memberikan dampak jangka panjang yang sangat menguntungkan. Hal tersebut adalah atas beberapa pertimbangan.

 

Pertama bila separasi ruang menyempit atau gradasi kepadatan penduduk yang menurun tajam dari pusat kota ke wilayah pinggiran maka penyediaan dan pemeliharaan fasilitas umum dapat dilakukan dengan lebih efektif karena lebih terkonsentrasi. Kedua, bagi masyarakat berpenghasilan rendah, sistim sewa akan lebih efektif dari pada sistim kepemilikan rumah terutama karena mereka tidak mampu memiliki rumah. Selain itu, karena letak perumahan susun berada di dalam kota, maka tambahan beban biaya transportasi bagai masyarakat berpenghasilan rendah akan dapat dihindarkan, sehingga kelompok masyarakat ini mempunyai peluang yang lebih besar untuk meningkatkan kesejahteraannya.

 

Demikian juga, sudah waktunya pengendalian lebih serius fenomena mutasi penggunaan tanah pertanian ke non-pertanian yang terjadi akibat pemekaran kota. Hal ini penting mengingat lokasi tanah-tanah persawahan sawah berkualitas tinggi justru berada di pinggiran kota-kota besar. Apabila luas minimal tanaman padi untuk komsumsi beras di Indonesia pada tahun 1990 adalah 10.25 juta hektar maka luas ini di tahun 2025 akan meningkat menjadi 13, 170 juta hektar. Padahal, luas tanah sawah di Indonesia justru menurun rata-rata 8.255 hektare per tahun dan lebih dari 80 persen mutasi ini justru terjadi di sekitar kota-kota di pulau Jawa. Sulit dibayangkan dampak terhadap kehidupan sosial dan ekonomi Indonesia apabila terjadi kelangkaan pangan terutama beras di masa mendatang. Alternatif penciptaan sawah-sawah baru di luar pulau Jawa bukanlah gampang, sama tidak logisnya apabila mengalihkan pola konsumsi beras ke menu pangan non-beras bagi masyarakat Indonesia.




Selasa, 13 Oktober 2009


Recent Readers

View My Profile View My Profile View My Profile View My Profile View My Profile
Web Hosting